Selasa, 24 Juli 2012

Sejarah Kerajaan Dharmasraya dari Berbagai Versi

Kerajaan Siguntur Minta Peninggalan Kerajaan Dipindahkan ke Dharmasraya

Dharmasraya:Kerajaan Siguntur, yang mengklaim masih turunan Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikat Patung Bhairawa dan Patung Amoghapasa dan memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya.

Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur, mengatakan pihaknya juga meminta didirikan museum mini di tepi Sungai Batanghari di Siguntur untuk tempat menyimpan benda-benda sisa Kerajaan Dharmasraya.

"Bila museum mini ini terwujud, sekaligus sebagai pusat informasi peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur." katanya.

Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang yang membawahi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatra Selatan, setuju dengan rencana pihak Kerajaan Siguntur.

"Dharmasraya tak hanya kekayaan arkeologis Sumatera Barat, tapi Indonesia. Pendirian museum di Kabupaten Dharmasraya ini bagus agar harta kerajaan yang tersimpan di masing-masing kerajaan tidak hilang, sebab dikhawatirkan kalau disimpan sendiri-sendiri lama-lama hilang," ujarnya.

Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto Besar, Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno.

Sejarah Kerajaan Dharmasraya


Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.
Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak.
Setelah Kerajaan Sriwijaya musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi menaklukan Sriwijaya. Situasi jadi berbalik di mana daerah taklukannya adalah Kerajaan Sriwijaya.
Dara Jingga
Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya Brahman dan Senopati Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Adwaya Brahman dari Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggawarman, menjadi penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.
Dara Petak
Di tahun 1293, Mahesa Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara setelah menjadi Raja Majapahit kedua.

Sekilas Tentang Sejarah Kerajaan Dharmasraya

Kawasan kepurakalaan daerah aliran sungai (DAS) Batanghari meliputi wilayah administrasi pemerintahan kerajaan Dharmasraya. Secara geomarfologis termasuk daerah perbukitan bagian Barat Sumatera yang dikenal dengan bukit barisan.
Kawasan situs tersebut terletak disatuan marfologi dataran dengan kemiringan lereng 0 sampai 2 persen. Tipe iklim kering tengah tahun (mid year dry climate) dengan curah hujan rata-rata per tahunnya kurang dari 2500 mm.
Sejarah Kerajaan
Dalam catatan sejarah, wilayah sepanjang DAS Batanghari di pedalaman dikuasai kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memerintah hampir bersamaan. Kerajaan Melayu dianggap penting masa itu karena eksistensinya diakui oleh beberapa kerajaan termasuk Majapahit. Di dalam naskah kuno Nagarakartagama pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan, Dharmasraaya sebagai salah satu kawasan Majapahit. Pada masa raja Kertanegara pusat pemerintahan kerajaan Melayu sudah berada di Dharmasraya dan lokasinya di bagian hulu Batanghari tepatnya di daerah rambahan, Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulaupunjung Dharmasraya.
Perubahan pusat pemerintahan ini dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik atau alas kaki Arca Amoghapassa yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta. Di bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim Kertanegara tercatat tahun 1347 M, raja yang memerintah adalah Sri Maharajadiraja Adityawarman yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman.
Selain itu, dalam catatan sejarah dan naskah Jawa kuno diterangkan Adityawarman merupakan keturunan dari seorang ibu Melayu yang bernama Dara Jingga dengan seorang pejabat kerajaan Singasari bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma merupakan pejabat yang dikirim Singasari mengiringi pengiriman Arca Amoghapasa ke Swarnabumi. Mengenai kemunculannya dapat ditemukan dalam Prasasti Kuburajo I yang ditemukan di Lima Kaum, Kabupaten Tanah datar. Sesudah prasasti Amoghapasa 1347 M ini, pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Dharmasraya berpindah kearah pedalaman yaitu daerah Kabupaten Tanahdatar dan sekitarnya.(hartanto)
Ahli Waris Raja Dharmasraya, Menjaga Warisan di Tengah Keterbatasan
Dharmasraya yang kini menjadi kabupaten ternyata dulunya nama kerajaan yang berkembang di abad ke-11. Kerajaan ini berpusat di Siguntur, daerah tepian Sungai Batanghari yang merupakan babak penting perkembangan kerajaan Pagaruyung. Bahkan hingga kini raja-raja di Dharmasraya masih menggunakan gelar kerajaan dan memegang tradisi leluhurnya.
Peninggalan peradaban Hindu-Budha di kawasan Siguntur dan juga peninggalan kebudayaan Islam yang sampai sekarang masih memiliki raja-raja dengan tugas dan wilayah tersendiri, sesuai aturan turun temurun. Menurut, ahli waris Kerajaan Dharmasraya Putri Marhasnida, di Dharmasraya terdapat lima raja yang masih memegang gelar kerajaannya dan masing-masing raja memegang peranan dalam melaksanakan tugas.
Di antara raja-raja yang pernah berkuasa yakni Raja Alam, berkuasa di Kerajaan Siguntur dengan gelar Tuanku Bagindo Ratu, Raja Adat di Kerajaan Sitiung dengan gelar Tuanku Rajo Hitam, Rajo Ibadat di Kerajaan Padang Laweh bergelar Tuanku Bagindo Muhammad, Raja Cermin Taruih di Kerajaan Pulau Punjung gelar Tuanku Sati. Sedangkan di Koto Besar bergelar Sri Sultan Rajo Maharajo.
Tiga Raja Setali
Dalam alur pemerintah terang Marhasnida di Kerajaan Siguntur terdapat tiga raja setali dalam peran yaitu raja alam, raja ibadat, dan raja adat. Raja alam sebagai pengendali alam, menjaga kesimbangan pemerintahan, raja adat berperan mengurus adat sekaligus panglima perang karena kesaktiannya. Raja Ibadat menjadi unsur terpenting dalam menggerakkan ruhiyah masyarakat terutama di bidang agama.
Menurut generasi kedelapan Kerajaan Dharmasraya dari kerajaan Islam yakni Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu yang merupakan raja alam yang bertahta hingga kini, peranan tersebut masih dipertahankan dengan segala keterbatasan yang ada. Ketiga raja menjadi satu paket penting yang dititahkan dari kerajaan pusat Pagaruyung. Termasuk aset-asetnya masih dijaga dengan segala keterbatasan yang ada.
“Namun karena berbagai kondisi dan keadaan, nilai-nilai sejarah ini hampir terlupakan dan sebagian sudah punah. Kini yang tersisa hanya beberapa saja seperti istana, masjid tua, stempel di wilayah kerajaan,” beber Tuanku Henri. Hal senada diungkapkan raja ibadat yang bertahta di Kerajaan Padanglaweh yakni Sultan Alif Tuanku Bagindo Muhammad. Menurutnya penataan dan penelusuran sejarah harus terus digali sehingga babak-babak terpenting dari kerajaan ini tidak hilang. Salah satu contoh, sempat terputus dan hilangnya ahli waris dari raja adat di Kerajaan Sitiung.
“Memang kita sempat kehilangan ahli waris di kerajaan Sitiung. Setelah ditelusuri akhirnya berhasil ditemukan. Karena itu, butuh keseriusan dalam melestarikan warisan budaya ini. Kini kami sudah mengembangkan tarian kerajaan yakni tari Toga yang sempat hilang,” lanjut Putri Marhasnida menerangkan.
Dua Raja Lain
Jika tiga raja setali dititahkan dari kerajaan pusat di Pagaruyung maka dua raja lain memiliki peran berbeda yang diemban dari Pagaruyung. Raja Carmin Taruih bergelar Tuanku Sati dan bertahta di Pulaupunjung memiliki tugas mengawasi dan menarik pajak atau upeti dari daerah yang diperintahkan kerajaan pusat. Tetapi dalam masa kerjanya juga harus sesuai dengan persetujuan dengan raja alam.
Lain halnya dengan Kerajaan Koto Besar sebagai merupakan daerah khusus yang diberikan kepada keluarga raja yang tertimpa musibah penyakit. Untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga maka raja Pagaruyung memerintahkan salah satu keluarga yang terkena musibah penyakit untuk pergi menetap di daerah Koto Besar. Akhirnya, wilayah ini memiliki kaitan langsung dengan keluarga raja di Pagaruyung dengan gelar Sri Rajo Maharajo.
Bahkan konon kabarnya sampai sekarang, seluruh ahli waris dan keturunanya tidak dapat berkunjung di lokasi Kerajaan Pagaruyung. Apabila hal ini dilanggar maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah kenyataan yang ada dan ini benar-benar terjadi pada ahli warisnya.(hartanto)
Peninggalan Kerajaan di Dharmasraya, Sejarah yang Dijarah
Kendati masih berusia muda, Kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari sana sekitar abad 11 masehi lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak, masjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Hindu-Budha dan Islam di kabupaten pemekaran itu.
Sayang, kondisinya memprihatinkan, terabaikan dan tak ada yang peduli. Beberapa simpul sejarah yang bisa bercerita akan kondisi miris itu di antaranya peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang. Parahnya lagi rentetan ekspedisi Pamalayu itu tidak diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung apriori dengan sejarah di daerah tersebut, termasuk mahasiswa. “Ambo lai tahu ado situs bersejarah di Siguntur tapi alun ado ke sinan soalnyo ndak tontu apo nan dicari (saya tahu ada situs bersejarah di Siguntur, tapi belum pernah ke sana. Tidak tahu apa yang mau dicari) ,” ujar Peldi, mahasiswa asal Dharmasraya.
Masyarakat sekitar pun ternyata banyak yang tak kenal dengan sejarah bahkan terkesan tidak peduli. Bayangkan saja, batu-batu situs sejarah itu pernah mereka diperjualbelikan untuk membangun rumah-rumah mereka. Baru tahun 1994, setelah mendapat izin pelestarian dan penggalian serta pelarangan untuk mengambil dan merusak, situs bersejarah dapat mulai terpelihara. “Mano kami tahu, kalau tumpukan bata itu bangunan candi. Jadi kini batu-batu bata, lah menyebar ke mano-mano, ambo turuik juo maangkek untuk dijua (Mana kami tahu kalau tumpukan batu itu candi. Sekarang batu batanya sudah menyebar ke mana-mana, saya juga ikut mengangkat batu-batu itu untuk dijual),” kata Azis, Ketua Pemuda Sungai Lansek.
Istana Raja: Nagari Siguntur di Dharmasraya banyak menyimpan peninggalan sejarah, salah satunya Istana Raja Siguntur.
Menurut Aziz, saat arca Bhairawa ditemukan sudah terdapat kerusakan. Kakinya yang satu berbeda dengan yang lain terdapat lekukan dan ukurannya lebih kecil. Sebab, sebelumnya salah satu kaki arca itu sering dijadikan batu asah sabit, pisau dan parang oleh para pengembala kerbau. Hal ini dibenarkan Kepala Jorong Sungai Lansek, Bachtiar. Penemuan arca di samping rumahnya menjadi indikasi benda-benda bersejarah tersebut berserakan. Padahal kalau dikelola dengan baik memiliki potensi parawisata yang luar biasa. Terbukti, wisatawan selalu datang bergantian mengunjunginya, terutama para peneliti sejarah baik dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, Kepala Jorong Sungai Lansek, Bactiar (50) sangat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan situs purbakala. Jalan setapak menuju lokasi masih tanah dan kala hujan turun akan becek sehingga susah diakses. Belum lagi di sekitar lokasi sudah banyak lahannya yang beralih fungsi menjadi ladang masyarakat. Padahal di tempat itu sudah teridentifikasi menyimpan peninggalan-peninggalan bersejarah. Masalah penerangan listrik PLN yang belum masuk, membuat lokasi yang pernah menjadi bagian dari ekspedisi Kerajaan Singosari yang berlokasi di seberang Batanghari itu agak terpinggirkan dan kian suram.
“Jika diperhatikan Pemkab tentu banyak wisatawan yang bakal berkunjung. Dari situ kami bisa mendapatkan tambahan pendapatan. Apalagi dalam sebulannya sekitar 150 wisatawan berkunjung. Bahkan tak jarang wisatawan datang rombongan dalam jumlah besar,” terang Bactiar. Sementara itu, Drs. Nopriyasman, M.Hum dari Jurusan Sejarah Unand Padang melihat sikap tak peduli masyarakat terhadap situs dan sejarah sudah berlangsung dari dulu. Kondisi ini terjadi karena kurangnya informasi dan penghargaan sekaligus bentuk sikap penolakan masyarakat terhadap hal-hal yang berbau Hinduisme. “Padahal itu bagian dari sejarah yang mesti disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bukti Sumbar pun pernah menjadi pusat kerajaan. Karena selama ini tidak hanya pemerintahan yang sentralistis dan Jawa sentris tetapi budaya Indonesia pun seakan-akan budaya Jawa saja,” bebernya.
Semangat ini, tambah Nopriyasman, bukan untuk memunculkan sikap provinsialisme tetapi membangun kesadaran bersama bahwa budaya Indonesia merupakan keragaman budaya yang tersebar di Nusantara bukan Jawa semata. Hal ini sangat penting dalam menguatkan rasa kebangsaan melalui pemahaman yang utuh terhadap sejarah. Karena itu, kita meminta pemerintah harus segera memberikan perhatian penuh terhadap sejarah dan benda-benda peninggalannya sehingga tidak terjadi pengikisan secara terus menerus. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan balai sejarah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya melakukan penelitian, penulisan dan pembukuan sejarahnya.
“Malahan catatan sejarah itu harus dimasukkan dalam muatan lokal sehingga generasi muda bisa mengetahui dan memahaminya. Malahan untuk benda-benda peninggalan kerajaan harus dibuatkan museum kecil agar terawat dengan baik. Dan kedepan Pemkab harus berpikir mengalokasikan anggaran untuk semua kegiatan itu,” tandasnya. Kendati demikian, kata Nopriyasman, Pemerintah harus tetap hati-hati dalam melakukan pemugaran dan menghilangkan keasliannya karena daya tariknya bakal berkurang. Apalagi selain menjaga keutuhan sejarah dan benda-benda purbakala pemugaran ini penting pula untuk mendorong berkembangnya wisata sejarah. “Jadi pemerintah sebetulnya tidak perlu ragu dalam mengalokasikan anggaran untuk itu. Karena kalau sudah terawat dengan baik tentu bakal banyak wisatawan yang berkunjung. Minimal akan menjadi objek penelitian dan itu akan menjadi sumber pendapatan daerah,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Dharmasraya, Agani mengakui, situs-situs bersejarah itu belum dapat dioptimalkan pemeliharannya dan sekaligus menjadikannya sebagai objek wisata. Namun ia menegaskan, secara bertahap akan mengelola melalui bidang parawisata. “Kita sadar bahwa situs-situs purbakala ini bisa menjadi salah satu objek wisata yang bisa mendatangkan pendapatan daerah, tapi kita butuh proses untuk melakukannya,” ujarnya. (*)
Wisata Sejarah yang Terlupakan, Perpaduan Hindu-Budha dan Islam nan Mempesona
Perpaduan Hindu-Budha dan Islam di ranah Dharmasraya menjadi pesona wisata sejarah tersendiri di kabupaten termuda Sumbar itu. Sayang, catatan sejarah itu belum banyak terekspos dan dibukukan. Padahal masih banyak peninggalan-peninggalan kerajaan yang pantas untuk dikaji dan ditelusuri. Malahan keturunan raja-raja Dharmasraya yang berpusat di beberapa daerah masih bisa kita temui.
Berbagi cerita sambil mengenal kembali sejarah bangsa. Menuju situs bersejarah itu, penuh dengan tantangan dan pesona. Lokasi masing-masing situs yang terbelah Sungai Batang Hari menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. Lagi-lagi sayang, daerah tersbeut nyaris tak tersentuh dan belum terkelola dengan baik menjadi wisata sejarah. Itu pula yang terus menerus melucur dari bibir para turis yang sering berkunjung. Akses transportasi satu kendala yang hingga kini belum teratasi. Lokasinya nan jauh dari jalan lintas Sumatera membuatnya sulit terjangkau para wisatawan. Menggapai Kerajaan Siguntur sebagai salah satu pusat kerajaan harus ditempuh dengan ojek dari Simpang Sikabah. Padahal jaraknya hanya 4 kilometer. Untungnya, rasa letih dan dahaga akan tak bakal terasa ketika menemui masjid tua, istana dan kuburan para raja dari kerajaan Islam. Tak puas dengan situs peninggalan kerajaan Islam, kita bisa meneruskan perjalanan ke lokasi situs peninggalan kerajaan Hindu-Budha di Jorong Sungai Lansek. Terdapat dua jalur untuk menggapainya di antaranya jalur Sungai Batanghari, Siguntur menggunakan perahu boat atau disebut “ tempek” sejauh 3 kilometer dengan perjalanan selama 15 menit.
“Bisa juga melalui jalur Koto Tuo menggunakan perahu “Ponton” atau besi panyubarangan. Ongkosnya relatif murah jika dibandingkan menggunakan perahu “tempek”,” ujar Ibarhim (53), salah seorang tokog Siguntur. Selama dalam perjalanan akan dijumpai pemandangan yang indah dan aktivitas ekonomi masyarakat sepanjang sungai Batanghari. Beragam aktifitas masyarakat bakal terlihat mulai dari pencarian ikan, pengerukan pasir, batu dan sebagai lintas transportasi. Tentu hal ini akan memberi kesan tersendiri bagi para pencinta petualangan alam nan menyegarkan. Kala kita sampai di dermaga penyeberangan harus siap-siap jalan kaki sejauh 1,5 km untuk sampai ke candi Padang Roco. Perjalanan ini melewati perkampungan masyarakat Siluluk dan Sungai Lansek yang ramah terhadap setiap pengunjung. Selepas itu bisa melanjutkan perjalanan dengan menaiki perahu “tempek” menuju Pulau Sawah. Di sana kita bisa temui peninggalan dan kekayaan zaman Hindu-Budha.
Belum lagi, kalau perjalanan wisata dilanjutkan ke daerah Padang Laweh. Wisatawan akan dimanjakan dengan pemandangan bahari Batanghari. Di sana kita akan melihat situs Padang Laweh dan rumah Gadang serta beramah tamah dengan Raja Ibadat yang bergelar Sutan Alif Bagindo Muhammad. Biar tak penasaran perjalanan harus dituntaskan hingga Pulaupunjung. Selain keindahan hulu Batanghari yang sekarang menjadi pusat bendungan irigasi Batanghari, pengunjung bisa menyusuri lokasi situs rambahan di lubuk Bulang, rumah gadang Pulaupunjung dan Sungai Kambut serta bertemu langsung dengan Raja camin taruih yakni Bagindo Alimuddin Tuanku Sati. Terakhir menuju daerah Koto Besar yang sampai sekarang masih ada keturunannya.
N. Hartanto http://www.padangekspres.co.id

RADEN WIJAYA


Reden Wijaya atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya (wafat tahun 1309) adalah pendiri dan raja pertama Majapahit yang memerintah tahun 1293-1309 dan bergelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya adalah anak dari Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda Galuh, dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari wangsa Rajasa, yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Lihat artikel Kerajaan Singhasari untuk melihat silsilah Raden Wijaya.
Ken Arok, raja pertama Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa Wong Ateleng lalu memiliki anak Mahesa Cempaka yang bergelar Narasinghamurti. Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah Lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya .
Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmasiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh.
Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya. Raden Wijaya seharusnya menjadi raja ke-27 Kerajaan Sunda Galuh. Sebaliknya, ia mendirikan Majapahit setelah tewasnya raja Kertanegara, raja Singhasari terakhir, yang merupakan sepupu ibunya.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari.
Menurut Pararaton dan beberapa kitab kidung, Raden Wijaya menikah dengan dua putri raja, sedangkan sumber prasasti dan Kakawin Nagarakretagama menyebutkan ia kawin dengan empat orang putri raja Kertanagara. Keempat putri raja Kertanegara ialah Tribuaneswari (Sri Parameswari Dyah Dewi Tribuaneswari), Narendraduhita (Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita), Pradnya Paramita (Sri Jayendra Dyah Dewi Pradnya Paramita), dan Gayatri (Sri Jayendra Dyah Dewi Gayatri).
Menurut Pararaton, Raden Wijaya juga menikahi Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Malayu oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanegara pada zaman kerajaan Singhasari. Dara Petak merupakan putri Raja Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya.
Gayatri melahirkan dua orang putri yaitu Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Menurut prasasti Sukamrta dan prasasti Balawi, wijaya memiliki seorang anak laki-laki dari Tribuaneswari bernama Jayanagara. Sementara itu, Dara Petak melahirkan seorang putra, yaitu Kalagemet. Namun demikian, dalam Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa ibu dari Jayanegara ialah Sri Indreswari (berbeda dengan nama keempat putri Kertanagara), sedangkan dalam Pararaton disebutkan bahwa Jayanegara sama dengan Kalagemet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar