Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Kerajaan Dharmasraya)
Kerajaan Malayu adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi, sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.
Sumber Berita Cina
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India
juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat,
Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina,
Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta Hyang.
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671
Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat
bantuan dari raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan
Malayu dalam perjalanan menuju India.
Prof. Slamet Muljana
yang telah mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan
Malayu berpendapat bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam
penaklukan Malayu oleh Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan
bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai
Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam suka cita.
Jadi,
penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini
sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India
tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika
kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka
saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan
Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683,
Kerajaan Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan
Selat Ma
Tentang Raja Chan-pi
Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam berita Cina berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina
yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan
surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta
menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada zaman Dinasti Sung,
istilah San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan
pasti apakah putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah
keturunan Rajendra, yang saat itu telah menguasai Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi kemungkinan besar adalah
ejaan Cina untuk istilah Jam
laka menggantikan peran Kerajaan Malayu.
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025.
Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih
peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat
arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang
mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton
disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula
disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar
adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun
bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak
menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja. Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka.
Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat
dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082 masih menjadi bawahan
keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil
yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali
Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui
dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat
Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini
belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti
Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225
disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu
Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia, Ki-lan-tan, Fo-lo-an,
Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta, Tan-ma-ling, Kia-lo-hi, Pa-lin-fong,
Sin-to, Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan. Dengan demikian, wilayah
kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka (Si-lan), Kamboja (Kia-lo-hi), sampai Sunda (Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030,
bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama
Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya,
daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang
mirip Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik
dengan Jambi. Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya
karena kedua tempat tersebut terletak berjauhan.
Dengan
demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri
bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan
Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi,
istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam
berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan
yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada
abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming.
Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi,
seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.
Sepasang Putri Malayu
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Keduanya dipersembahkan kepada Raden Wijaya menantu Kertanagara. Kertanagara sendiri telah meninggal setahun sebelumnya.
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara,
raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada
seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi
raja Malayu bergelar Mantrolot Warmadewa.
Mantrolot
Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra
Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu
salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri
dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat
tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh
ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan
Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman
sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia
adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau
Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri dari raja Dharmasraya
tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri
raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak dan Raden Wijaya
pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian
Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan
dari Singhasari.
Dalam catatan Dinasti Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina
untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut
masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang,
dan Ma-na-cha-wu-li.
Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377
ketiganya mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada
tahun 1377 tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak
saat itu ketiga negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya
menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman
raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja
Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli
raja Dharmasraya.
Meskipun
Adityawarman adalah cucu Srimat Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki
hak atas takhta Dharmasraya karena ia lahir dari Dara Jingga.
Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung,
sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan
Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya setelah Gajah Mada meninggal tahun 1364, negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, Maharaja Hayam Wuruk
yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas
pemberontakan Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan
Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan
di San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah
Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu
berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra
dijadikan satu dengan berpusat di Palembang
Kepustakaan
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS